Apa itu Lingkungan Binaan?
Lingkungan
binaan atau lingkungan terbangun adalah suatu lingkungan yang
ditandai dominasi struktur buatan manusia. Sistem
lingkungan binaan bergantung pada asupan energi, sumberdaya, dan
rekayasa manusia untuk dapat bertahan.
Dalam perencanaan kota, instilah ini memberikan kesimpulan
bahwa sebagian besa lingkungan yang dipakai manusia adalah lingkungan buatan,
dan lingkungan buatan ini harus diatur agar dapat mempertahankan hidup
manusia dengan baik.
Kearifan Lokal dalam Arsitektur Perkotaan dan Lingkungan
Binaan
Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual
yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam
kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang
sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral maupun profan. Kearifan lokal
telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar
dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah
warisan budaya arsitektur perkotaan. Arsitektur perkotaan dan lingkungan
binaan, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau
wacana ke-indonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi
terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan. Di dalam
permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda
sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat
tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu
lingkungan hunian atau perumahan tradisional.
Nilai-nilai
adat yang terkandung dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika
serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Keanekaragaman sosial budaya
masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat.
Demikian pula, penggunaan teor-teori untuk menggali kearifan lokal, dapat
mengungkapkan nila-nilai arsitektur bangunan maupun kawasan dari suatu tempat.
Dengan demikian local wisdom (kearifan lokal/setempat): dapat dipahami sebagai
gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,
bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat.
Penegasan
dalam arsitektur perkotaan sudah sangat jelas, bahwa konteks budaya yang
terdapat di dalamnya, menjadi bagian utama untuk digali dan dicari. Apa yang
melatarbelakanginya dan bagaimana cara mengungkapkannya, agar nilai budaya itu
dapat memberikan arti dan membuka wawasan bagi perencanaan dan perancangan
perkotaan di masa mendatang.
Perjalanan budaya suatu
kawasan yang di dalamnya terdapat manusia dan bangunan, telah memberikan ciri
khas pada kehidupan masyarakat dalam sejarah peradaban bangsa. Peradaban
sendiri, diistilahterjemahkan dari civilization, dengan kata latin civis (warga
kota) dan civitas (kota; kedudukan warga kota). Hal itu diistilahkan oleh Franz
Boas menjadi lahirnya kultur sebagai akibat dari pergaulan manusia dengan
lingkungan alamnya. Meliputi budaya materiil, relasi sosial, seni, agama, dan
sistem moral serta gagasan dan bahasa
Definisi budaya juga memberikan tekanan pada
dua hal: pertama, unsur-unsurnya baik yang berupa adat kebiasaan atau gaya
hidup hidup masyarakat yang bersangkutan; dan kedua, fungsi-fungsi yang
spesifik dari unsur-unsur tadi demi kelestarian masyarakat dan solidaritas antar
individu (Antariksa, 2009). Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya,
dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan
lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya perkotaan.
Benar adanya bahwa, pengakuan
tentang warisan budaya (cultural heritage) yang di dalamnya terdapat
konservasi, adalah merupakan bagian dari tanggungjawab seluruh tingkatan
pemerintahan, dan anggota masyarakat, sedangkan heritage itu sendiri, adalah
bukan sekedar mendata masa lampau, tetapi merupakan bagian integral dari
identitas perkotaan saat ini dan masa mendatang. Menampilkan kembali atau
mempertahankan ruang kota masa lalu, berarti memperhatikan elemen-elemen jalan
(street-furniture) dan pembentuk ruangnya, baik tata hijau (soft-landscape)
maupun perkerasannya (hard-landscape).
Ahli perkotaan Witold
Rybezynski mengatakan “budaya telah menjadi industri besar di beberapa kota
tua”. Kota-kota tetap pada lokasi dari budaya yang paling utama –museum,
teater, auditorium, dan universitas, juga pabrik-pabrik dan beberapa kantor ada
pada suburbans. Mereka menjadi tujuan wisata karena daya tarik budayanya.
Bagian yang paling menonjol dari budaya kota-kota di Eropa adalah lingkunan
binaan bersejarah.
Redefenisi Lingkungan Binaan dan Tradisionalisme
Manusia
hidup di dunia dalam hidup dan berkehidupannya selalu mengolah sesuatu menjadi sebuah karya. Karya inilah yang menjadi
dasar kendaraannya dalammengarungi kehidupan di dunia ini. Mulai dari
memasak, berkendaraan, berkomunikasi,membunuh, bernaung dan lain sebagainya.
Tidak terlepas dari itu manusia mengolahlingkungan
dimana ia berada dan dimana ia hidup supaya manusia dapat melaksanakankegiatan
sehari-harinya dengan lebih mudah dan cepat-efektif. Pada saat manusia hidupdi
lingkungan yang panas ia membuat bangunan yang dapat mereduksi panas, padasaat
manusia hidup di lingkungan yang kering dia mengolah lingkungannya denganmengambil air dan mengalirkannya ke lingkungan
tersebut. Berbagai tindakan dilakukanuntuk mendapatkan sebuah lingkungan yang
nyaman.Arsitektur dan kota termasuk dalam sebuah konteks lingkungan binaan.
Oleh karena itu,sebuah
arsitektur dan kota (seharusnya) akan hidup dan berkembang sesuai tempatdimana ia berada. Apabila dia berada di wilayah
bersalju, maka pengertian danpengelolaan dari sebuah lingkungan binaan
akan berbeda dengan pengertian danpengelolaan lingkungan di wilayah yang
kering. Jelas pula bahwa lingkungan binaanantara pelaksanaan dan pemaknaannya
sangat tergantung dimana dia dimaknai dandihasilkan.
Karya manusia dapat dikelompokkan
dalam konteks kebudayaan. Sebuah lingkungan
binaan adalah sebuah karya manusia, dan manusia tidak akan dapatterlepas
dari budayanya. Sebelum kita dapat membahas tentang lingkungan binaan,tidak ada salahnya kita membahas definisi dari
budaya dan konteks yangmengelilinginya.Apakah
budaya itu? E. K. M. Masinambow (2001) memberikan penjelasan yang lebihsingkat dan jelas tentang hiruk pikuk persepsi
kebudayaan yang selama ini terjadi meski
lebih terhadap teoritis Ia mengajukan 3 pertanyaan tentang kebudayaan, yaitu:
1. apakah yang dimaksud dengan
kebudayaan itu harus dicari pada perilaku ataupada hal-hal yang berada di belakang
perilaku itu – di dalam kehidupan internmanusia?
2.apakah yang dimaksud dengan
kebudayan itu harus dicari pada benda-bendayang dihasilkan manusia, pada lingkungan biofisik yang dimodifikasi olehmanusia; atau pada hal-hal dalam kehidupan intern
manusiayang mendorongnyamembuat membuat benda-benda itu atau merubah lingkungnan
biofisik itu?
3.apakah yang dimaksud dengan
kebudayaan itu harus dicari pada lingkunganalam yang sudah ada, tetapi
diberikan “makna tertentu” oleh masyarakatsehingga mempengaruhi perilaku
manusia atau pada “makna” yang diberikanitu?Jawaban
pada pertanyaan-pertanyaan itu tergantung pada teori tentang kebudayaanyang dianut.
Jika teori itu
bersifat mentalistik atau idealistic, dengan sendirinyakebudayaan itu berada di
dalam diri manusia. Sebaliknya jika teori itu bersifatmaterialistic atau behavioristik,
dengan sendirinya kebudayaan itu adalah keteraturanpada perilaku dan pada artifak, pada pola pembuatan artifak maupun polapenggunaannya.
Dahulu, pendapat tentang hakikat
kebudayaan merupakan manifestasi dari kehidupanmanusia yang berbudi luhur dan yang
bersifat rohani. Sekarang pendapat itu bergeser menjadi bahwa kebudayaan adalah manifestasi kehidupan setiap orang dan
setiapkelompok orang. Manusia selalu
merubah alam. Manusia selalu mengutik-utiklingkungan hidup alamiahnya. Dan itulah yang dinamakan kebudayaan.
Tidak terkecualitradisi, norma yang
diturunkan. Manusia membuat sesuatu dengan tradisi itu, iamenerimanya,
menolaknya dan merubahnya. Kegiatan inilah yang dinamakankebudayaan.
Jadi setiap orang, tidak terbatas pada para ahli pencipta karya, tetapi jugasetiap orang dan kelompok orang dapat membentuk
sebuah kebudayaan. Revolusimakna
kebudayaan telah terjadi.
Dr. Galih
Widjil Pangarsa memberikan penjelasan tentang kebudayaan dalam
pemikiranberketuhanan. Dia mencoba mengartikan kembali makna Cultuur
yang merupakan akar kata
culture mengolah tanah untuk suatu hasil, kata ini kemudain berkembang untuk
pengolahan tanaman, ternah, mikroorganisme, pola karekteristik perilaku
masyarakat,sebuah gaya ekspresi artistik
atau sisoal yang dimiliki golongan tertentu di dalamaktifitas seni. Sedangkan budaya berasal
dari badaya bertasrif menjadi Al-Mubdi’u,
salah satu asmaAllah yang berarti yang Maha
Mengawali dan Menjadikan segala sesuatu dari tiada.Konsep makna harafiah kata
budaya menunjukkan akar kata-kata “budi” (akal-budi,pikiran) dan “daya”
(tenaga, kemampuan). Demikian sehingga budaya dapat dimaknai sebagai kemampuan
berakal budi dengan nilai-nilai luhur berketuhanan, untuk mengawali
hidup dengan suatu proses yang adil, harmonis, selaras dalam kedamai-tentraman yang berbukti pada kesatuan jalinan
kehidupan antar makhluk ciptaan Allah.
ilustrasi 1: konsep kebudayaan sebenarnya
Dalam konsep ini, sudah ada perbedaan tegas antara
baik-buruk, benar-salah, adil-zalim, indah-buruk dan seterusnya. Dan budaya diajukan
sebagai kata sifat atau katakerja, bukan
kata benda.Dengan dasar budaya tersebut, lingkungan binaan seharusnya
adalah sebuah karyamanusia yang sesuai dengan kebaikan tidak keburukan,
kebenaran tidak kesalahan,keadilan bukan
kezaliman.
Pemaknaan lingkungan binaan
Lalu apakah lingkungan Binaan itu? Dalam bahasa anglosaxon
(inggris) pengertian inipun masih berkembang. Demikian pula dalam bahasa lain.
Sedangkan dalam bahasaindonesia, kata kota
dan rumah merupakan kata serapan dari bahasa melayu, yangtersebar dari
seluruh nusantara. Ketersebaran ini manjadikan kata tersebut mempunyai hasil
karya/ budaya/ nilai yang dikembangkan manusia.
Nilai ketuhanan adalah makna sesuai
pemahaman masyarakat setempat. Potensi pemaknaan ini sangat luasapabila dilihat dasar dari bahasa-bahasa yang
tidak terkukung oleh pengertian satubahasa. Kenusantaraan sangatlah bijaksana,
sangat luas dalam pemaknaan danpelaksanaan. Kedinamisan masyarakat
menghasilkan kedinamisan makna pula. Olehkarena itu, untuk melihat suatu
definisi, sebelumnya kita harus melihat ruang dan waktudimana definisi itu berada. Karena manusia bereksistensi dalam waktu.
Realitas ini menunjukkan pada kitatentang pemahaman dan sikap manusia
Jawa terhadap jagadnya yang oleh Frick(1997:83) dijelaskan bahwa makrokosmos
manusia Jawa adalah lingkungan alam,sedangkan mikrokosmosnya adalah
arsitektur sebagai ruang tempat hidup yangmerupakan
gambaran makrokosmos yang tak terhingga.
Penerapan Arsitektur hijau pada lingkungan binaan
Kearifan lokal dalam perancangan kota seharusnya juga dilihat dari
kearifan kita dalam memperlakukan lingkungan alamnya. Bagaimana menyatukan
kreatifitas perancang dengan lingkungan alam sekitar
yang menjadi pendukungnya.Pembangunan lingkungan binaan di Indonesia masih
mengidap obsesi yang sedikit berlebihan terhadap modernisasi lingkungan yang
kadang rela untuk mengorbankan elemen alamnya. Hal ini menyiratkan kesan
bahwa kota yang tertata dengan baik adalah kota dengan bangunan – bangunan
gedung baru yang serba canggih dan pintar, pembuatan jalan – jalan tol dan
jalan layang. Semestinya aspek pelestarian alam dan konservasi lingkungan
adalah satu aspek yang wajib pula untuk perhatikan. Tujuan dari penulisan ini
adalah menggali sebanyak mungkin informasi mengenai penerapan arsitektur hijau
pada perencanaan dan perancangan lingkungan binaan. Mendisain satu kota dengan
mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan alamnya. Kajian ini akan
memberikan simpulan tentang konsep lingkungan binaan “arif” dengan lingkungan
alamiahnya, sebagai kekayaan lokalitasnya.
Berawal dari kesadaran bahwa bumi kita memiliki keterbatasan, maka
keharmonisan antara alam sekitar dengan manusia mutlak untuk dilakukan. Manusia
modern cenderung meninggalkan kearifan – kearifan lokal yang dianut oleh
masyarakat sebelumnya demi sebuah kemodernan yang pada hakikatnya justru
menjadi penyumbang terbesar dalam perusakan lingkungan. Pemanasan global
menjadi isu yang semakin sering kita dengar. Lalu, apa sebenarnya yang menjadi
penyumbang perusakan lingkungan kita? Keberadaan jumlah manusia yang terus
bertumbuh menjadikan rentetan masalah yang salah satunya adalah semakin
berkurangnya lahan untuk permukiman. Sehingga muncul permukiman- permukiman
kumuh, pemanfaatan lahan yang tidak seharusnya menjadi lahan permukiman,
seperti bantaran sungai, daerah pinggiran rel kereta api
atau kolong jembatan.
Selain itu juga konsumsi
yang berlebihan untuk kenyamanan tinggal seperti perangkat elektronik dan
sambungan telekomunikasi yang memerlukan energi berlebih. Terlebih lagi
penggunaan bahan – bahan yang tak terbarukan dalam pembangunan. Serta banyak
hal lain yang pada dasarnya bisa dihindari, namun tetap digunakan atas nama
modernisasi dan kenyamanan sepihak.
Selain itu, kepadatan
penduduk yang semakin meningkat juga mengakibatkan berkurangnya lahan hijau dan
area terbuka. Lahan yang semakin berkurang
mengakibatkan meningkatnya harga lahan. Hal ini mempengaruhi pola berpikir
manusia untuk memanfaatkan lahan semaksimal mungkin untuk bangunan dibandingkan
dengan untuk penghijauan dengan alasan ekonomi. Selain itu adanya industri –
industri dan kegiatan transportasi menyumbangkan gas, cairan beracun dan
sampah. Unsur – unsur kimia dan biologi meningkatkan berbagai macam radiasi.
Dan semua itu pada akhirnya akan berpengaruh buruk pada kesehatan manusia.
Menghadapi pengaruh iklim global dan juga
iklim local di Indonesia,dengan pola pikir bahwa harus ada perubahan agar masa
yang akan datang tidak lebih buruk dari masa sekarang (sustainable life)
menajdikan lingkungan-lingkungan binaan seperti rumah,wilayah,kompleks,dll akan
menghasilkan dampak terhadap kenyamanan penghuninya.Terjadi cara pandang dalam
menyikapi perubahan iklim dalam lingkungan binaan.Contohnya pada saat suhu
semakin panas ,ada lingkungan binaan (dalam ahl ini unit kecil yaitu rumah)
yang beradaptasi dengan menggunakan AC dan ada yang menggunakan tanaman agar
dapat mendinginkan ruangan.Terjadi dua pendekatan untuk beradaptasi,namun
dampak yang dihasilkan ternyata lain.Bayangkan jika setiap rumah menghadapi
pemanasan global ini ditanggapi dengan “teknologi pendingin” dan satu lagi
dengan “Alamiah”.Dengan penggunaan AC , maka ruangan menjadi dingin,tetapi
membutuhkan energi yang berasal dari listrik dan pda sumbernya akan
menghasilkan gas-gas yang malah akan membuat bumi semakin panasa,dan AC pun
menghasilkan panas diluar ruangan tersebut.
Jika seluruh rumah melakukannya dapat
dibayangkan,udara diluar semakin panas,dan energi yang dihasilkan besar
sekali,tapi tidak seekstrem juga harus tanpa AC karena ada beberapa bangunan
dalam skala lebih besar yang memang memerlukannya.Penggunaan teknologi ini
harus diimbangi juga dengan beberapa upaya yang lebih baik agar iklim dan
lingkungan bersahabt dengan kita.Pada kasus ayng satunya ,jika kita menanam
pohon,banyak keuntungan yang didapat yaitu pohon mendinginkan ruangan dengan
bayangannya,daunnya tidak meradiasikan panas,dan kita mendapat O2 juga
bayangkan jika seluruh rumah memiliki banyak pohon akan berpengaruh dan
mengurangi CO2 sebagai gas pencipta pemanasan global.
Dari kasus llingkungan binaan dan kaitannya
dengan manusia,sudah ada perbedaan pendekatan yang sebenarnya berdampak ke
kehidupan yang akan datang.Di sini arsitek,akademisi,dan pihak-pihak lain
sebagai salah satu pemangku kepentingan pengembangan kota,dan merancang
lingkungan binaan adalah pihak yang berperan penting dalam memberikan jasa
konsultasi untuk pembangunan dan pengembangan lingkungan binaan. Arsitek
berperan penting dalam merancang bangunan untuk tempat tinggal, bekerja,
rekreasi dan lain-lain. Arsitek bertanggung jawab merancang bangunan agar layak
dihuni dan digunakan untuk kegiatan ekonomi dan sosial sehari-hari. Pada
dasarnya, setiap pembangunan pasti akan mengubah keseimbangan lingkungan alami
dan mengubahnya menjadi lingkungan binaan (built environment).
Dalam perancangan bangunan, arsitek didukung
oleh beberapa disiplin lainnya. Peran arsitek dan disiplin lainnya sangat
penting dalam merancang bangunan yang dapat beradaptasi dengan perubahan iklim
tersebut. Pengoperasian bangunan gedung bertingkat tinggi memerlukan energi
yang besar untuk penerangan dan pendinginan udara, sistem penyediaan air
bersih, pembuangan air dan sampah.Pengaruh perubahan iklim ini terhadap dunia
arsitektur juga ternyata berkaitan juga dengan pengaruh dunia arsitektur
terhadap perubahan iklim.Seperti kasus penggunaan AC dan pohon dimana
dipengaruhi iklim global tetapi juga pendekatan tersebut berpengaruh balik
kepada perubahan iklim global.Ada bangunan yang merespon dengan baik sehingga
akan menjadikan hasil yang lebih baik.Peran –peran arsitek pada perancangan
banguna-bangunan dan juga lingkungannya akan berpengaruh terhadap iklim
global.Sektor-sektor konstruksi,pembangunan pun berpengaruh terhadap perusakan
lingkungan ,dapat dilihat dari pengambilan material mulai dari hulu ke
hilir,secara terus menerus,mengurangi tanaman,yang akan menjadikan banyak
bencana dan bumi semakin panas.
Pengaruh Iklim terhadap arsitektur dan
pengaruh balik arsitektur terhadap perubahan iklim harus dilihat secara
bijaksana.Indonesia sebagai Negara beriklim tropis,dalam pembangunannya
seharusnya dapat memanfaatkan keuntungan iklim tropis di Indonesia,seperti
panas matahari yang menyinari setiap hari,adanya daerah-daerah yang sering
hujan,tanah yang bagus sehingga dapat ditumbuhi tanaman.Negara lain pun yang
beriklim subtropics,dll memiliki kelebihannya sendiri dan iklim-iklim ini erat
kaitannya dengan pembangunan diwilayah tersebut. Salah satu alasan mengapa
manusia membuat bangunan adalah karena kondisi alam iklim tempat manusia berada
tidak selalu baik menunjang aktivitas yang dilakukannya. Karena cukup banyak
aktivitas manusia yang tidak dapat diselenggarakan akibat ketidaksesuaian
kondisi iklim luar, manusia membuat bangunan.
Dengan bangunan, diharapkan iklim luar yang
tidak menunjang aktivitas manusia dapat dimodifikasi diubah menjadi iklim dalam
(bangunan) yang lebih sesuai.Usaha manusia untuk mengubah kondisi iklim luar
yang tidak sesuai menjadi iklim dalam (bangunan) yang sesuai seringkali tidak
seluruhnya tercapai. Dalam banyak kasus, manusia di daerah tropis seringkali
gagal menciptakan kondisi termis yang nyaman di dalam bangunan. Ketika berada
di dalam bangunan, pengguna bangunan justru seringkali merasakan udara ruang
yang panas, sehingga kerap mereka lebih memilih berada di luar bangunan.
Pada saat arsitek melakukan tindakan untuk
menanggulangi persoalan iklim dalam bangunan yang dirancangnya, ia secara benar
mengartikan bahwa bangunan adalah alat untuk memodifikasi iklim. Iklim luar
yang tidak sesuai dengan tuntutan penyelenggaraan aktivitas manusia dicoba
untuk diubah menjadi iklim dalam (bangunan) yang sesuai.Arsitek di daerah
subtropis tentu berbeda dalam pendekatan perancangan terhadap bangunan
didaerahnya,dengan pendekatan dinding dua lapis,atap dapat datar,dll.Di
Indonesia,sudah ada ratusan tahun yang lalu rumah-rumah “tradisional” yang
terbukti sampai sekarang baik dalam hal beradaptasi terhadap iklim di Indonesia
dan juga perubahan Iklim.
Arsiteknya pada dahulu menggunakan
pendekatan “alamiah” dan sebenarnya pada saat sekaran pendekatan ini dapat
diterapkan.Dengan aturan-aturan hanya kayu apa yang digunakan, material bambu,
pengangkatan lantai dari tanah karena lembabnya tanah,pemasukan udara melalui
sela-sela dindin, dll. Berbeda sekali dengan konstruksi material yang menghabiskan
banyak energi dan pencariannya secara besar- besaran pada zaman sekarang ini.
Di sini terlihat bahwa arsitektur yang dirancang guna mengatasi masalah iklim
setempat, karena pemecahan problematik iklim merupakan suatu tuntutan mendasar
yang wajib dipenuhi oleh suatu karya arsitektur di manapun dia dibangun. Dengan
perbuahan iklim ini,dan juga pemanfaatan iklim di Indonesia, ada beberapa
arsitek yang menggunakan pendekatan seperti yang tadi dijelaskan diatas yaitu
memikirkan masa yang akan datang (sustainable).
Arsitek dalam merancang lingkungan binaan
salah satunya bangunan menyadari perubahan iklima dalah sesuatu yang
berpengaruh terhadap bangunan yang akan dibuatnya,dan juga manusia mengetahui
bahwa iklim sangat berpengaruh terhadap tempat yang ia tinggali. Banyak cara
untuk pendekatan terhadap perubahan iklim dan juga iklim setempat di berbagai
daerah.Contoh diatas dengan menggunakan Menciptakan iklim mikro (dalam dearah
tertentu) dengan menanam pohon pelindung dengan tajuk lebar akan mengurangi
suhu cukup signifikan dalam daerah yang terlindungi/teduh. Ruang terbuka
(hijau) juga penting, selain sebagai penyerap karbon, juga merupakan ruang
interaksi sosial bagi pengguna bangunan. Penghawaan dan pencahayaan alami dapat
mengurangi beban pengoperasian bangunan. Selain itu, penyinaran panas yang
berlebihan juga harus dihindari untuk mengurangi beban pendinginan udara.
Hal ini dapat dilakukan dengan merancang sirip-sirip atau kanopi di
jendela-jendela bangunan.Air hujan yang terjadi di Indonesia dimanfaatkan secara
baik untuk memenuhi kebutuhan air penghuni bangunan..Jika iklim mikro ini
diterapkan disetiap rumah ,dapat dibayangkan bagaimana hasilnya. Indonesia,
sebagai negara tropis, mendapatkan sinar matahari, sepanjang tahun. Hal ini
dapat dimanfaatkan oleh perancang dengan memasang solar panel untuk menyimpan
energi surya yang dapat memenuhi sebagian kebutuhan energi bangunan Indonesia,
dengan teknologi rendah dan harga yang terjangkau. Ada beberapa teknologi
lainnya yang dapat dimanfaatkan seperti mikro hidro (untuk komunitas) dan
tenaga angin (di daerah dengan kecepatan angin tertentu).
Teknologi tidak selamanya menyumbang
terhadap pemanasan global,tetapi juga dengan penerapan teknologi yang baik dan
terencana ,akan menjadi sebuah lingkungan binaan yang baik dan
berkelanjutan.Lingkungan yang beradaptasi dengan pengaruh iklim local dan iklim
global dapat dimanfaatkan dengan baik,selain mengurangi dampak pemanasan global
juga member sumbangsih terhadap keberlanjutan lingkungan binaan tersebut.
Adaptasi dan pendekatan terhadap perubahan
iklim global dapat dilakukan dengan mengadopsi kearifan lokal dalam
perancangan.Pada zaman dahulu di Indonesia para perancang rumah –rumah yang
disebut “Arsitektur Tradisiona”l sudah menerapkan rancangan yang terbukti
bertahan dalam menghadapi iklim di Indonesia. Pada tahun 1980 an para arsitek
Indonesia bergelut dengan topik “Arsitektur Tropis” yang bertujuan memanfaatkan
sebesar mungkin keuntungan geografis Indonesia di daerah tropis guna mengurangi
pemakaian energi di dalam bangunan.Sekarang yang dibicarakan menjadi “Green
Architecture” ataupun “Sustainable Architecture” yang sebenarnya merupakan
penyempurnaan dari prinsip-prinsip dasar yang terbahas dalam “Arsitektur
Tropis” dengan memanfaatkan kemajuan teknologi (yang baik) dalam pergerakan
arsitektur global.Protokol Kyoto,Climate exchange,Peringatan Hari
Bumi,merupakan perhatian nyata warga dunia terhadap perubahan iklim global yang
semakin terasa.,dan bumi,sebgai tempat manusia tinggal dan beraktivitas sudah
semakin terdesak,dengan segala kerusakan yang manusia timbulkan dimuka bumi.
Arsitek dalam hal ini memiliki peran penting
,dalam dunia rsitektur ,bangunan terbentuk umumnya menyesuaikan dengan iklim
dimana bangunan itu berada,bangunan berfungsi untuk manusia beraktivitas didalamnya
dan dapat menghadapi iklim global.Dalam menghadapi iklim seperti ini,tidak
hanya bangunan yang kuat merespon perubahan iklim tetapi juga memanfaatnkan dan
mejadikannya sebagai bangunan yang “sustainable”,member sumbangsih dengan
mengurangi efek pemanasan global dan juga berperan menjadikan bumi semakin baik
dan bersahabat dengan manusia.
Mencari
Makna Kaerifan Lokal
Dalam lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia
John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan)
sama dengan kebijaksanaan. Secara umum makna local wisdom (kearifan setempat)
dapat dipahami sebagai gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh
kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat.
Menurut Gobyah dalam Sartini (2004:112) mengatakan bahwa kearifan lokal (local
genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah.
Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan
berbagai nilai yang ada.
Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya
masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan maupun
produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan
hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya
dianggap sangat universal. Pada bagian lain, Geriya dalam Sartini (2004:112),
mengatakan bahwa secara konsepsual, kearifan lokal dan keunggulan lokal
merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai,
etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal
adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan
bahkan melembaga.
Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah
dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial
yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu
tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami
penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara
sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Kearifan adat dipahami
sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap
baik oleh ketentuan agama. (Sartini, 2004:112).
Kearifan-kearifan
lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan dalam pembentukan jatidiri
bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat suatu
budaya bangsa memiliki akar (Sayuti, 2005). Motivasi menggali kearifan lokal
sebagai isu sentral secara umum adalah untuk mencari dan akhirnya, jika
dikehendaki, menetapkan identitas bangsa, yang mungkin hilang karena proses
persilangan dialektis seperti dikemukakan di atas, atau karena akulturasi dan
transformasi yang telah, sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu yang
tak terelakkan. Bagi kita, upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas
dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di
atas dasar identitas daerah-daerah Nusantara (Sayuti, 2005).
Dalam
kaitan ini, kearifan lokal yang terkandung dalam sistem seluruh budaya daerah
atau etnis yang sudah lama hidup dan berkembang adalah menjadi unsur budaya
bangsa yang harus dipelihara dan diupayakan untuk diintegrasikan menjadi budaya
baru bangsa sendiri secara keseluruhan. Pengembangan kearifan-kearifan lokal
yang relevan dan kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu
bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, di samping juga
mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri. Kearifan lokal yang
juga meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, dengan demikian, juga
berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi
tonggak kehidupan masa sekarang.
Karya-karya
arsitektur perkotaan, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan
dalam 'wajah atau wacana ke-indonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat
besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara
keseluruhan. Menurut Juwono (2005:76, identitas keruangan adalah salah satu
kekayaan sosial budaya untuk meneguhkan keberadaan masyarakat dalam proses
perubahan sosial budaya lingkungannya. Dalam perancangan kota, penguatan akan
potensi lokal menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi dampak
permasalahan peningkatan konflik serta adanya kesenjangan menjadi persoalan
yang urgen. Perhatian terhadap potensi lokal arsitektur kawasan sebagai “daya
tarik serta keunggulan” kota menjadi penyeimbang sinergi globalisasi lokal
(Eade, 1977).
Kekuatan
dari kearifan lokal tersebut berupa nilai masa lalu atau saat ini maupun
perpaduan dari keduanya yang memiliki signifikasi dan keunikan. Kenyataan
kota-kota dalam masa sekarang ini cenderung kehilangan kekuatan tradisi
kelokalannya yang semakin larut masuk dalam dinamika global. Konservasi kawasan
merupakan sebuah tantangan dalam perancangan kota, hal ini dimungkinkan karena
proses perkembangan dan pertumbuhan kota untuk memperhatikan nilai histories
dan dinamika dari kawasan tersebut.
Kearifan
Lokal dalam Tatanan Tradisionalistik
Di dalam
permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda
sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat
tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu
lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung
dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari
masyarakat tersebut. Terdapat suatu elemen utama dari hal yang sakral tersebut
pada permukiman tradisional. Jika permukiman dianggap sebagai suatu lingkungan
yang diperadabkan, maka bagi kebanyakan masyarakat tradisional di lingkungan
tersebut, menurut ketentuan, merupakan lingkungan yang sakral atau disucikan.
Alasan pertama adalah karena orang-orang banyak berpandangan bahwa
masyarakat-masyarakat tradisional selalu terkait dengan hal-hal yang bersifat
religius.
Agama dan
kepercayaan merupakan suatu hal yang sentral dalam sebuah permukiman
tradisional. Hal tersebut tidak dapat terhindarkan, karena orang-orang akan
terus berusaha menggali lebih dalam untuk mengetahui makna suatu lingkungan
yang sakral atau disucikan, karena hal itu menggambarkan suatu makna yang
paling penting. Kedua, sebuah pandangan yang lebih pragmatik, adalah bahwa hal
yang sakral tersebut serta ritual keagamaan yang menyertainya dapat menjadi
efektif untuk membuat orang-orang melakukan sesuatu di dalam sesuatu yang
disahkan atau dilegalkan (Rapoport, 1969).
Pola tata
ruang permukiman tradisional Aceh merupakan khasanah warisan budaya yang cukup
menonjol, diciptakan dan didukung oleh masyarakat yang bercirikan Islam dan
kultur budaya setempat, sehingga pola tata ruang yang terbentuk mempunyai
nilai-nilai religi dan budaya yang sangat tinggi. Secara tradisional, pola
pemukiman di Aceh terdiri dari rumah-rumah yang dikelompokkan berdasarkan kekerabatan
yang diselingi dengan wilayah terbuka yang berfungsi sebagai wilayah publik dan
wilayah penyangga hijau.
Di
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, jejak-jejak kearifan para arsitek jaman
dahulu masih dapat ditemukan. Seperti rumah-rumah tradisional lain di Asia
Tenggara, rumoh (rumah) Aceh berupa rumah panggung, yang dirancang sesuai
dengan kondisi iklim, arah angin dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Tidak sekadar sebagai hunian, rumoh Aceh juga menyiratkan budaya dan tata cara
hidup orang Aceh yang kaya makna. Rumoh Aceh hingga kini masih bisa ditemui di
desa-desa di kawasan pantai timur, mulai dari Aceh Timur hingga Aceh Besar.
Namun, jumlahnya terus berkurang. Salah satu permukiman tradisional yang masih
bertahan adalah Gampong Lubuk Sukon, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh
Besar. Gampong ini terletak di dataran rendah, dekat dengan pegunungan, yang
sebagian besar rumah penduduknya adalah rumah panggung tradisional Aceh yang
terbuat dari kayu. Rumah-rumah di Gampong Lubuk Sukon, secara bijak dirancang
dengan prinsip tahan gempa. Observasi Hurgronje (1985) membuktikan bahwa hunian
masyarakat (permukiman) Aceh telah disesuaikan terhadap ancaman bencana gempa
dan banjir. Orang Aceh, khususnya yang bermukim di wilayah Banda Aceh (dahulu disebut
dengan Kutaradja) dan Aceh Besar, sejak tahun 1600 telah sadar bahwa letak kota
mereka secara geografis tidak terlalu baik (Lombard, 2006). Pola yang terbentuk
dari keseluruhan sistem permukiman masyarakat Gampong Lubuk Sukon memiliki
makna dan tujuan tertentu berdasarkan konsep-konsep lokal yang telah terbukti
dapat lebih diterima oleh masyarakat penggunanya. Kebijakan mengenai aspek adat
dan kehidupan Gampong yang tertuang dalam bab VII Qanun nomor 4 tahun 2003 yang
menyatakan bahwa Gampong berhak untuk merancang dan menetapkan reusam Gampong
(tata krama peradatan di Aceh) untuk mengatur kehidupan warganya, menjadi dasar
untuk menghidupkan kembali adat yang semakin menghilang akibat pergeseran
nilai-nilai masyarakat.
Oleh
karena itu, penjelasan mengenai konsep bermukim sangat penting dalam kaitannya
dengan proses pembentukan lingkungan permukiman. Melalui latar belakang dan
pengalaman sejarah, dan pemahaman mengenai pola tata ruang permukiman yang
sesuai dengan nilai-nilai tradisional masyarakat Aceh, diharapkan dapat
mengakomodasi, menghormati dan memelihara keberadaan Gampong, sekaligus sebagai
wujud pelestarian tata ruang tradisional sebagai identitas budaya bangsa.
(Burhan, 2008)
Pengaruh
kepercayaan pada permukiman Dusun Sade Lombok, antara lain terlihat pada
pemilihan lokasi permukiman dan orientasi bangunannya. Lokasi permukiman
dipilih pada daerah yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, yaitu pada daerah
perbukitan dengan pertimbangan sebagai berikut (Mahayani, 1995:35):
(1)
Kepercayaan terhadap kosmos tentang adanya kekuatan alam gaib yang
barada di alam atas dan dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai sumber
rahmat keselamatan sekaligus kutukan dan kesengsaraan
(2) Faktor keamanan, puncak bukit
merupakan tempat yang strategis untuk mengatur pertahanan mengingat adanya
konflik antara Dusun Sade dengan dusun-dusun lainnya
(3)
Faktor kesuburan tanah, perbukitan merupakan daerah yang kurang subur
karena banyak mengandung kapur, sedangkan daerah sekitarnya yang berupa dataran
rendah merupakan daerah yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian untuk
mata pencaharian masyarakat setempat.
Rumah-rumah
di Dusun Sade terbuat dari bahan-bahan yang berasal dari alam, seperti kayu,
bambu dan alang-alang, dengan letak rumah yang berderet dan berdekatan,
sehingga membentuk pola linear dengan orientasi ke arah timur dan barat. Arah
orientasi rumah-rumah tersebut tidak tepat menghadap ke timur dan barat
melainkan agak miring sesuai dengan topografi kawasan. Orientasi ini didasarkan
kepada arah matahari yang dipercaya akan memberikan berkah. Arah timur
diartikan sebagai penewu jelu, yaitu tempat matahari terbit dan arah barat
diartikan sebagai penyerap jelu, yaitu tempat matahari terbenam. Selain itu
juga adanya pantangan untuk menghadap ke utara karena mengarah ke Gunung
Rinjani yang dianggap sebagai tempat suci karena merupakan tempat bersemayamnya
Dewa Gunung Rinjani, yaitu dewa tertinggi yang menguasai seluruh Pulau Lombok
(Krisna, 2005). Rumah-rumah tersebut memiliki ukuran yang sama dengan menggunakan
bahan-bahan dari alam sekitar serta memiliki bentuk yang sederhana. Keseragaman
pada bentuk maupun bahan bangunan yang digunakan, diartikan sebagai kesamaan
asal usul yaitu dari segumpal tanah.
Oleh
karena itu, sebagai manusia yang sama asal dan derajatnya maka rumah tinggal
sebagai tempat hunian mereka di dunia juga harus sama. Ciri dari permukiman
tradisional sebagai wujud budaya khas adat dapat ditemukan pada pola perumahan
taneyan lanjhang yang merupakan ciri khas arsitektural Madura yang memiliki tatanan
berbeda dengan nilai adat tradisi Madura yang kental mengusung nilai dan sistem
kekerabatan yang erat dan masih dapat ditemukan kesakralannya pada beberapa
wilayah di Pulau Madura. Karakteristik orisinil masyarakat Madura cenderung
memiliki corak perumahan tidak mengarah pada bentuk desa berkerumun tetapi
lebih kepada corak berpencar. Membuat koloni-koloni dalam rupa kampung-kampung
kecil.
Ada juga
satu pekarangan yang terdiri dari empat atau lima keluarga. Ekspresi ruang pada
susunan rumah tradisional Madura, atau yang lazim disebut taneyan lanjhang
adalah salah satu contoh hasil olah budaya yang lebih didasarkan kepada makna
yang mendasari pola pemikiran masyarakatnya. Hal tersebut sangat dipengaruhi
oleh keberadaan dan cara hidup masyarakatnya. Makna ruang tidak hanya didasari
oleh pengertian estetis dan visual semata. Pemaknaan lebih didasarkan kepada
esensi terdalam dari apa yang ada dalam alam pemikiran masyarakatnya karena
itulah ekspresi visual adalah cerminan nilai dasar dari jati diri masyarakatnya
(Tulistyantoro, 2005).
Pola
perumahan taneyan lanjhang, merupakan pola yang terbentuk karena adanya tradisi
bermukim masyarakat Desa lombang dipengaruhi oleh garis matrilineal dengan
membentuk satu pola permukiman yang disebut sebagai pola permukiman taneyan
lanjhang (halaman panjang). Menurut Zawawi Imron (survey primer 2008),
permukiman taneyan lanjhang merupakan konsep bermukim yang mengacu pada
kekerabatan yang mengandung ajaran untuk memberikan eksistensi pada perempuan.
Sedangkan
menurut Edy, budayawan Madura (survey primer 2008) dikatakan bahwa konsep
taneyan lanjhang yang merupakan budaya bermukim masyarakat Madura pada umumnya
timbul karena kondisi geografis yang kurang menguntungkan (kering/tandus)
menyebabkan diperlukan banyak tenaga untuk mengelola lahan tersebut sehingga
perempuan dianggap sebagai aset bagi keluarga dalam menambah jumlah tenaga
(membawa suami untuk masuk ke dalam lingkungan keluarga perempuan karena
berlakunya tradisi matrilokal). Taneyan sendiri difungsikan sebagai pengikat
antar bangunan yang menunjukkan kekerabatan yang erat (matrilokalitas) serta
sebagai orientasi dan arah hadap bangunan. (Dewi, 2008)
Kegiatan
adat dan budaya yang berkembang di Desa Trowulan merupakan perpaduan antara
nilai tradisi Jawa dan Majapahit, tradisi tersebut masih dipakai di tengah
kehidupan masyarakatnya. Tradisi yang paling dominan dan menonjol adalah hanya
bersifat periodik atau waktu tertentu, yaitu cok bakal, tingkep, among-among,
tandur, keleman, wiwit dan bersih desa. Tradisi dan budaya tersebut
mempengaruhi bentuk pola permukiman (pola hunian) baik internal maupun
eksternal. Aspek pola hunian menguraikan mengenai tipologi desa dan pola
permukiman desa. Pola permukiman yang ada di Desa Trowulan terdiri atas, mengumpul
dengan orientasi rumah adalah halaman yang digunakan secara bersama (komunal),
linier dengan orientasi rumah adalah jalan, serta linier memusat dengan
orientasi rumah adalah jalan dan cenderung terpisah dengan dusun yang lain.
Pola
permukiman ini kemudian di bagi lagi menjadi unit yang lebih kecil lagi, yaitu
pola hunian. Karakteristik non fisik masyarakat pada pola hunian dengan
orientasi halaman bersama cenderung melakukan aktivitas sosial dan sistem nilai
yang sama, hal ini didukung dengan hubungan kekerabatan yang ada masih sangat
erat, karena mereka adalah satu keturunan yang sama. Secara umum bentuk
arsitektur tradisional di daerah Kabupaten Mojokerto, sebuah kawasan
peninggalan kerajaan Majapahit dapat dilihat bahwa perkembangan arsitektur Mojokerto
dipengaruhi oleh dua budaya etnis, yaitu budaya Jawa dan budaya Madura. Kedua
budaya inilah yang nampaknya sangat dominan pengaruhnya, walaupun sebenarnya
masih terdapat etnis lain, seperti suku Osing dari Banyuwangi dan para
pendatang yang sebagian besar berasal daerah pesisir. Dengan demikian maka pola
permukiman yang ada di Kabupaten Mojokerto sedikit banyak mempunyai persamaan
dengan pola permukiman yang berkembang di daerah Madura. (Permatasari, 2008).
Peninggalan Kolonial dan Kearifan
Lokal
Bangunan
peninggalan Kolonial Belanda yang masih ada di Kawasan Oranjebuurt terdiri dari
bangunan yang dibangun pada perioede awal tahun 1900 sampai dengan sebelum
tahun 1930 (sekitar tahun 1914-1918) dan bangunan yang dibangun sekitar tahun
1930-an. Bangunan yang dibangun sekitar tahun 1914-1918 memiliki desain
bangunan yang secara keseluruhan terkesan lebih dekoratif dan detail dari
bangunan berlanggam tahun 1930-an. Secara umum, fasade bangunan pada
masing-masing sisi ruas jalan di Kawasan Oranjebuurt Kota Malang kurang
memiliki legibilitas (kemudahan untuk dipahami atau dibayangkan dan dapat
diorganisir sebagai suatu pola yang koheren).
Unsur
irama sebagai pengikat pola maupun urutan klimaks dan anti klimaks sulit
ditemukan karena perubahan fisik bangunan baru tidak memperhatikan harmonisasi
dengan bangunan yang telah ada sebelumnya. Walaupun hanya tersisa beberapa
bangunan, masih terdapat beberapa bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang
memperlihatkan suatu harmonisasi antar fasade bangunannya, pengakitan yang
digunakan di antarnya adalah proksimity, reproduksi dan penutup
berkesinambungan. Skala ketinggian bangunan di Kawasan Oranjebuurt tidak
membentuk suatu kesan ruang, karena memiliki garis sempadan bangunan yang cukup
besar, sehingga jarak antar muka bangunannya rata-rata empat kali lebih besar
dari ketinggian bangunan. (Novayanto, 2008)
Keteraturan
ruang pada Kawasan Oranjebuurt secara makro terbentuk oleh kaitan visual ruang
terbuka (open space/void) yang lebih dominan, sedangkan massa bangunan (solid)
lebih kepada sebagai infill saja. Void yang membentuk kaitan visual di Kawasan
Oranjebuurt terdiri dari struktur jaringan jalan yang memperkuat orientasi
kawasan. Solid atau massa yang terdapat di Kawasan Oranjebuurt memiliki peran
dalam elemen perkotaan sebagai blok medan, yaitu sebagai massa yang memiliki
berbagai macam bentuk dan orientasi, namun masing-masing tidak dilihat sebagai
individu, melainkan dilihat sebagai keseluruhan massa secara bersama.
(Novayanto, 2008).
Persepsi Budaya dalam Arsitektur Perkotaan
Persepsi
budaya dalam perkotaan pertama digunakan dalam antropologi. Hal ini ditegaskan
oleh Clifford Geertz dalam The Interpretation of Culture (1973), seikat dari
aktifitas dan nilai yang membentuk karakter dari masyarakat, dalam kasus ini
adalah masyarakat perkotaan. Kedua, digunakan secara terbatas di tempat budaya
disamakan dengan seni dan kebiasaan, dan terutama dengan bidang melukis dan
musik.
Dalam
pandangan Lewis Mumford melalui The Culture of Cities (1938)nya mengatakan
bahwa, kota mempunyai creative focal points bagi masyarakat, dan kota adalah titik maksimum konsentrasi untuk power
and culture dari komuniti. Kota dibentuk oleh budaya, tetapi sebaliknya kota
dipengaruhi wujud dari budaya itu. Kota dibentuk bersama-sama dengan langgam, menurut
Mumford sangat manusiawi, dan merupakan “greatest work of art”. Di dalam kota,
waktu menjadi visibel, dengan lapisan-lapisan dari masa lalu yang masih
bertahan pada buildings, monuments, dan public ways.
Peran
budaya terhadap kota dalam The City (1905), Max Weber mengatakan bahwa konsep kota
menekankan kesopanan (urbanity) , wujud kosmopolitan dari urban experience.
Melalui wujudnya, sebuah kota dimungkinkan menjadi puncak dari individual dan
inovasi, dan hal ini menjadi instrumen dari perubahan sejarah. Dalam
perkembangan penulisan sejarah di Amerika, Eric Lampard mencoba mendefinisikan
sejarah kota dengan sejarah dari “urbanisasi sebagai proses kemasyarakatan”,
bukan sejarah dari “kota”. Hasil dari sejarah kota yang demikian itu kemudian
diberi nama the new urban history. Maksud dari pembatasan ini ialah untuk
mengembalikan bidang sejarah kota kepada gejala kekotaan yang khas, yang
menekankan kekotaan sebagai pusat perhatian sejarah. (Kuntowijoyo 2003:64).
Di sini
urbanisme menjebak masyarakat dalam kebebasan untuk menentukan tempat kehidupan
berarsitektur dalam lingkungan binaannya. Pengaruh dari perkembangan arsitektur
telah membebani kehidupan berarsitektur masyarakat perkotaan dan perdesaan.
Aspek tatanan budaya dan fisik mereka dijadikan objek sebuah tatanan baru yang
berbeda dengan geografis-kultural setempat, sehingga menenggelamkan kerifan
lokal yang mereka punyai.
Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam
jangka waktu yang singkat. Namun terbentuk melalui sejarah yang panjang,
perjalanan berliku, tapak demi tapak yang terjadi secara turun temurun dari
berbagai generasi. Pada titik tertentu terdapat peninggalan-peninggalan yang
eksis atau terekam sampai sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya. Dengan
demikian, proses perjalanan sejarahnya pun tidak dapat dipolitisasi bahkan
direkayasa. Hal ini menjadi penting agar tidak menghentikan tradisi budaya
mereka yang sudah berjalan secara turun-temurun sebagai warisan.
Teori Sebagai Alat Pengungkap
Kearifan Lokal
Di
kota-kota yang memiliki kekuatan fisik struktural dapat dilakukan dengan
pendekatan fisik (Trancik, 1986), di samping pendekatan yang memperlihatkan
aliran hubungan dan interaksi serta nilai-nilai kontekstual ruang. Setiap kota
memiliki banyak fragmen tinggalan masa lalu, yaitu kawasan-kawasan bersejarah
kota yang berfungsi sebagai bagian yang terdapat di dalam kota. Salah satu
pendekatan yang digunakan untuk menggali kearifan lokal, adalah elemen
penghubung, yaitu elemen-elemen dari linkage satu kawasan ke kawasan lain untuk
membantu orang agar mengerti fragmen-fragmen kota sebagai bagian dari suatu
keseluruhan yang lebih besar (Zahnd, 1999:108).
Pendekatan lain adalah figure ground sering
dipergunakan untuk mendeskripsikan pola masif dan void tata ruang perkotaan
kawasan. Berdasarkan teori figure/ground, suatu tata kota dapat dipahami
sebagai hubungan tekstual antara bentuk yang dibangun (building mass) dan ruang
terbuka (open space). Figure/ground adalah alat yang sangat baik untuk
mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola-pola sebuah tata ruang perkotaan
(urban fabric), serta mengidentifikasikan masalah keteraturan massa/ruang
perkotaan (Zahnd, 1999:79).
Kemudian
teori place dipergunakan untuk memahami seberapa besar kepentingan
tempat-tempat perkotaan yang terbuka terhadap sejarah, budaya dan
sosialisasinya. Analisis place adalah alat yang baik untuk (i) memberi
pengertian mengenai ruang kota melalui tanda kehidupan perkotaannya; dan (ii)
memberi pengertian mengenai ruang kota secara kontekstual (Zahnd, 1999:70).
Secara
fisik, sebuah ruang (space) akan ada kalau dibatasi sebagai sebuah void dan
sebuah space menjadi sebuah place kalau mempunyai arti dari lingkungan yang
berasal dari budaya setempatnya (Trancik, 1986). Pendekatan citra kota memberikan
arah pendangan kota ke arah yang memperhatikan pikiran terhadap kota dari orang
yang hidup di dalamnya. Makna sebuah tempat dapat diungkapkan berdasarkan
elemen-elemen pembentuk citra. Tiga dari lima elemen yang dapat mengungkapkan
makna dari ciri perkotaan, yaitu district (kawasan), node (simpul), edge
(batas) serta landmark (tengeran) (Lynch, 1960), kelima elemen ini tidak dapat
dipandang secara terpisah antara satu dengan lainnya. Karena kelimanya akan
berfungsi dan berarti secara bersamaan dalam satu interaksi. Melalui konsep
mental map ruang kota menurut Lynch (1960) konservasi kawasan dapat
dikembangkan kota sebagai “konstruksi collective memory”. Namun tidak demikian
halnya dengan kota-kota yang tidak memiliki “struktur fisik” seperti kota-kota
yang terdapat di Indonesia, dengan eksistensi kota-kota semacam ini lebih
bertumpu pada kekuatan sosial budayanya.
Pendekatan
sinkronik dan diakronik yang diungkapkan oleh Suprijanto (2001:108), umumnya
digunakan dalam kaitannya dengan morfologi (dalam arsitektur dan kota) sebagai
metode analisis. Pada morfologi atau perkembangannya, aspek diakronik digunakan
untuk mengkaji satu aspek yang menjadi bagian dari satu objek, fenomena atau
ide dari waktu ke waktu. Sedangkan aspek sinkronik digunakan untuk mengkaji
keterkaitan antar aspek dalam kurun waktu tertentu.
Akan
tetapi, pendekatan-pendekatan di atas masih belum menyentuh masalah budaya
arsitektur perkotaan, yang dapat digunakan untuk melihat struktur kota yang
berkaitan dengan bangunan dan kawasannya. Massa dan ruang yang akan dimaknai,
belum cukup untuk dapat mengungkapkan tradisi dan budaya dibalik lingkungan
binaan yang melingkupinya. Dengan kondisi budaya yang berbeda, tentunya akan
memberikan hasil yang berbeda pula dengan kondisi geografis bangunan dan
kawasan lainnya. Karena struktur fisik kota di masing-masing tempat berbeda
dengan struktur budaya di tempat lain yang didasarkan pada struktur geografis
kulturalnya. Setiap kawasan juga memiliki keunikan tersendiri terbentuk karena
adanya kekhasan budaya masyarakat, kondisi iklim yang berbeda, karakteristik
tapak, pengaruh nilai-nilai spiritual yang dianut, dan kondisi politik atau
keamanan dari suatu kota atau daerah. Pada dasarnya potensi yang dimiliki
tersebut harus mampu dimanfaatkan ataupun dikembangkan sebagai daya tarik
kawasan tersebut.
Pendekatan yang lebih berorientasi
pada pandangan etik harus melihat pandangan emik bagaimana kepentingan warga
secara luas dan masyarakat kota secara umum. Dari disiplin perancangan kota,
kasus ini menunjukkan “konstruksi sosial budaya kota” bukan konstruksi fisik
seperti dapat dijumpai pada kota-kota lain di Indonesia (Juwono, 2005:82).
Menghadapi kenyataan tersebut tindakan yang harus dilakukan adalah mengkaji
ulang konsep dasar perancangan kawasan serta melihat kembali apakah kearifan
lokal yang ada masih dapat dipertahankan. Dengan demikian fungsi ruang adalah
sebagai tempat transformasi nilai sosial budaya.
Demikian pula dengan makna kultural,
dapat digunakan sebagai sebuah konsep yang mengusulkan kriteria untuk
mengestimasi nilai dari suatu tempat. Suatu tempat dikatakan mempunyai makna,
bila dapat membantu memahami masa lalu, memperkaya masa kini, dan dapat menjadi
nilai untuk generasi yang akan datang. Termasuk di dalamnya adalah, nilai
estetis, nilai sejarah, nilai estetika, nilai ilmiah, dan nilai sosial termasuk
dalam konsep makna kultural seperti tertuang dalam piagam Burra (Burra Charter,
1981).
Pendekatan yang dilakukan oleh
Catanese (1986), merumuskan kriteria yang digunakan dalam menentukan objek
konservasi sebagai berikut: estetika, kejamakan, kelangkaan,
keluarbiasaan/keistimewaan, peran sejarah, dan memperkuat kawasan. Bahkan objek
yang akan dikonservasikan menurut Pontoh (1992), dapat dikategorikan sebagai
berikut: nilai (value) dari objek, fungsi objek dalam lingkungan kota, dan
fungsi lingkungan dan budaya. Gagasan ini pun dilanjutkan oleh Attoe dalam
Catanese & Snyder (1992:423-425) yang memberikan pendapat, bahwa perbedaan
kualitas dan tingkat pentingnya dalam menentukan objek konservasi didasarkan
pada lima pertimbangan sebagai berikut: dianggap yang pertama, patut
diperhatikan menurut sejarah, perlu dicontoh, tipikal, dan langka.
Namun pertimbangan objek tadi belum
cukup masih diperlukan parameter, yang oleh Fitch dalam Nurmala (2003:29)
diungkapkan melalui tiga parameter konservasi dalam menentukan lingkup objek
konservasi, yaitu skala, tipe dan artefak, dan ukuran dari artefak. Pendekatan
ini ada kelemahannya, yaitu penerjemahan maupun penilaian terhadap makna
kultural suatu bangunan kuno bersifat subjektif dalam artian tergantung pada
masing-masing orang untuk menilai. Diperlukan adanya penelaahan budaya yang
lebih mendalam lagi, agar nilai budaya yang terdapat dalam bangunan maupun
kawasan bersejarah itu dapat terungkap dengan baik melalui pendekatan makna
kulturalnya.
Kearifan lokal merupakan bagian dari
tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian yang
ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan (perkotaan),
dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa. Secara fisik arsitektural dalam
lingkungan binaan, permukiman tradisional dapat diperlihatkan keragaman bentuk
kearifan, salah satunya diwujudkan dalam bentuk dan pola tatanan permukimannya.
Nilai-nilai adat tradisi-budaya yang
dihasilkan mempunyai tingkat kesakralan yang berbeda dari masing-masing daerah
di nusantara ini, sesuai dengan keragaman etnis yang menempatkan daerah atau wilayah
tersebut. Dalam arsitektur perkotaan, bangunan-bangunan peninggalan kolonial
beserta kawasan bersejarahnya dapat memberikan irama sebagai pengikat pola
maupun urutan klimaks dan anti klimaks masih dapat ditemukan di beberapa
kawasan. Hal ini terjadi, karena perubahan fisik arsitektur dan lingkungan
binaan baru tidak memperhatikan harmonisasi kearifan lokal dari bangunan dan
kawasan yang telah ada sebelumnya. Sebenarnya pendekatan lain juga dapat
digunakan dalam mengungkapkan nilai kearifan lokal, yaitu melalui pendekatan
teori di dalam mengkaji arsitektur bangunan maupun kawasan perkotaannya. Dengan
demikian kearifan lokal/setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan
setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam
dan diikuti oleh masyarakat.
Arsitektur
sebagai lingkungan binaan manusia Pada dasarnya setiap manusia memiliki
kebutuhan. Suatu karya arsitektur merupakan wujud kebudayaan sebagai hasil
kelakuan manusia dalam rangka memenuhi hasrat kebutuhan mereka. Menurut Van
Romondt Arsitektur adalah ruang tempat hidup manusia dengan bahagia (definisi
konsepsional) kata ruang meliputi semua ruang yang terjadi karena dibuat oleh
manusia.pada prinsipnya jelas bahwa arsitektur terdiri dari unsur-unsur ruang.
Atau dengan kata lain karya arsitektur merupakan lingkungan baik buatan manusia
maupun dari alam, istilah yang lebih popular untuk menggambarkan pengertian ini
lah bahwa arsitektur merupakan suatu lingkungan binaan.
Manusia,
Kebudayaan dan Lingkungan Hubungan antara kegiatan manusia dengan lingkungan
alam dijembatani oleh pola-pola kebudayaan yang dimiliki manusia (Parsudi
Suparlan). Lingkungan, selain berupa lingkungan alam juga berupa lingkungan
sosiobudaya. Karena itu konsep manusia harus dipahami sebagai makhluk yang bersifat
biososiobudaya. Sehubungan dengan itu, maka manusia, kebudayaan dan lingkungan
merupakan 3 faktor yang saling berhubungan secara integral. Lingkungan alam
tempat manusia hidup memberikan daya dukung kehidupan dalam berbagai bentuk
kemungkinan yang dapat dipilih manusia untuk menentukan jalan hidupnya.
Pengembangan pilihan-pilihan itu sangat bergantung pada potensi kebudayaan
menusia yang berkembang karena kemampuan akalnya. Dengan kata lain, melalui
kebudayaan manusia akan selalu melakukan adaptasi terhadap lingkungannya. Dalam
proses adaptasi tersebut manusia mendayagunakan lingkungan agar dapat melangsungkan
kehidupannya.